10.2.12

Program Gerdu Kempling: Perlu Pengembangan Kapasitas

Walikota Semarang Soemarmo HS mencanangkan Gerakan Terpadu (dalam menggarap bidang) Kesehatan, Ekonomi, Pendidikan, Infrastruktur, dan Lingkungan atau disingkat  ''Gerdu Kempling''. Melalui program Gerdu Kempling ini diharapkan angka kemiskinan kota Semarang yang saat ini mencapai 24,61% atau sebesar 111.558 KK (398.009 jiwa) dapat berkurang 2% atau lebih  setiap tahunnya sampai dengan tahun 2015. Rencananya program inii akan dilakukan dua kali dalam setahun secara bertahap. Untuk tahap pertama (2011) ditetapkan 32 kelurahan sebagai project pilot. Selanjutnya 48 kelurahan pada 2012 dan 2013, 32 kelurahan pada tahun 2014 serta 17 kelurahan pada tahun 2015 sehingga total 117 kelurahan di kota Semarang dapat terjangkau program ini.

Strategi yang digunakan adalah melalui pendekatan kewilayahan dengan melibatkan berbagai unsur seperti  kelurahan, kecamatan, perguruan tinggi, dunia usaha, serta masyarakat. Dari kalangan dunia usaha bahkan dikabarkan telah membentuk konsorsium untuk penggalangan dana yang diketuai Hasan Toha dan Haryanto Halim. Mereka juga siap membantu ketersediaan 1.000 buku untuk setiap kecamatan guna terwujudnya rumah pintar. (SM, 22/3). Beberapa bank juga sudah menjanjikan mengakomodasi ajakan Wali Kota dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan sasaran masyarakat miskin di Kota Semarang.  Sedangkan dari kalangan perguruan tinggi (Undip dan Unnes)  memilih program wilayah binaan di Kecamatan Tembalang, Tugu, Semarang Utara, Mijen, dan Gunungpati yang juga di dukung  oleh BNI, Bank Mandiri, BRI dan Bank Jateng. Walikota Sumarmo HS menyatakan seluruh bantuan akan diberikan langsung kepada masyarakat, pemerintah hanya sebagai fasilitator yang mensinergikan berbagai kegiatan dalam proram Gerdu Kempling.

Menyimak pemberitaan di media tersebut, nampaknya program Gerdu Kempling tengah on the way. Meski demikian, sebagai langkah antisipasi, memperhatikan berbagai hambatan/tantangan yang mungkin singgah dalam pelaksanaan program Gerdu Kempling tetap dibutuhkan agar capaian keberhasilan program menjadi lebih optimal. 

Kemitraan dan Kelembagaan Lokal

Program Gerdu Kempling yang dicanangkan Walikota Semarang merupakan wujud dari program kemitraan antara Pemerintah, Swasta/Kelompok Peduli (termasuk Perguruan tinggi dan LSM) serta Masyarakat. Dalam wacana kemitraan hal tersebut dikenal sebagai PPCP (Public, Private and Community Partnership). PPCP merupakan kemitraan antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat yang secara bersama-sama melakukan kerjasama dalam pembangunan dan atau pengelolaan prasarana dan sarana. Investasi yang dilakukan dapat bersifat padat modal ataupun tidak padat modal tergantung dari kebutuhan masyarakat dan kemampuan mitra. Mitra Swasta dan Masyarakat membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan Pemerintah tetap sebagai pemilik aset serta pengatur dan pengendali pelaksanaan kerjasamana. Hubungan kemitraan ini berdasarkan atas kepercayaan, dedikasi dalam mencapai tujuan, dan saling mengerti akan harapan-harapan serta nilai-nilai setiap partisipan. Mengharapkan keuntungan dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas biaya, kesempatan dalam berinovasi,dan peningkatan secara berkelanjutan atas kualitas produk dan pelayanan. (Bennett, 1996).

Secara konseptual program tersebut nampak sejalan dengan paradigma pembangunan dewasa ini yang menempatkan masyarakat bukan lagi sebagai obyek pembangunan. Meskii demikian, pada tataran praktis implementasi konsep tersebut tentu saja harus dibuktikan. Merujuk pendapat Moeljarto Tjokrowinoto (1987), ciri-ciri pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (manusia) adalah; Pertama, prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri.  Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.;  Ketiga, pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya sifatnya fleksibel menyesuaikan dengan kondisi local. Keempat, di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses  sosial learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari  proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar; Kelima, proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun horizontal.

Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal. Pengertian lokal menurut pemahaman UU No. 32 Tahun 2004 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu (propinsi), daerah tingkat dua (kabupaten/kota), dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa/kelurahan. Pada konteks lokal, simbiose antara struktur-struktur pembangunan melalui proses networking mensyaratkan perlunya kelembagaan local. Kelembagaan merupakan pranata, norma, nilai ataupun aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang hidup dalam sebuah komunitas yang keberadaannya sangat ditentukan oleh hubungan antara organisasi-organisasi local yang ada. Artinya organisasi menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan. Dengan demikian kelembagaan lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan Uphoff, 1982).

Identifikasi Tantangan

Keberhasilan program Gerdu Kempling tidak hanya ditentukan oleh salah satu partisipan dalam PPCP tetapi semua partisipan yang terlibat dalam program gerdu kempling akan turut menentukan keberhasilan program. Partisipan tersebut adalah, dari Pemerintah: Kelurahan, Kecamatan dan semua SKPD di Kota Semrarang, dari swasta: Dunia usaha, Perbankan dan Perguruan Tinggi serta dari masyarakat: semua lembaga-lembaga local di masing-masing kelurahan se kota Semarang. Lembaga local yang di maksud bisa diidentifikasi yakni:  LPMK, RT, RW, PKK, Karang Taruna, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), komunitas-komunitas lokal seperti jamaah pengajian, dan paguyuban-paguyuban yang ada di lingkup kelurahan.

Meskipun pendekatan program Gerdu Kempling yang dilakukan adalah pendekatan kewilayahan dengan lokus kegiatan pada level Kelurahan hal tersebut tidak berarti keberhasilan program ini ditentukan semata-mata oleh kapasitas di level Kelurahan (perangkat kelurahan dan masyarakat serta lembaga-lembaga local di tingkat kelurahan). Seluruh partisipan dalam program Gerdu Kempling harus mampu berkolaborasi dengan baik sehingga membentuk bangunan kelembagaan pembangunan yang kuat. Upaya tersebut tentu saja bukan perkara sederhana. Setidaknya ada beberapa tantangan yang mungkin akan singgah dalam pelaksanaan program gerdu kempling.

Tantangan tersebut adalah: Pertama, pada aras individu. Tantangan pada aras Individu sesungguhnya sangat kompleks karena terkait dengan hal-hal yang sifatnya intangible seperti motivasi, pengetahuan, perilaku, serta ketrampilan yang dibutuhkan semua stakeholder yang terlibat dalam program Gerdu Kempling baik dari unsur Pemerintah, Swasta maupun Masyarakat. Perbedaan masing-masing individu dalam melihat program Gerdu Kempling berpotensi dalam menimbulkan konflik dan kecurigaan yang dapat menghambat keberhasilan program. Kedua pada aras organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah baik organisasi formal maupun non-formal, tidak saja dalam struktur pemerintahan tetapi juga mencakup pihak swasta dan masyarakat. Tantangan pada aras organisasi adalah bagaimana mensinergikan seluruh stakeholder yang terlibat agar mampu memberikan daya dorong yang kuat dalam menunjang keberhasilan program. Hal ini terkait dengan manajemen, sumber keuangan, sumber informasi, infra struktur dan hubungan antar lembaga. Ketiga pada aras system. Tantangan pada aras system yang dimaksudkan adalah terkait dengan berbagai aturan dan mekanisme baku yang bersifat formal dan mengikat. Dalam konteks program Gerdu Kempling ini, posisi dan peran masing-masing stakeholder di dalam peraturan perundangan yang menjadi payung hukumnya belum terlihat jelas. Hal ini dapat menimbulkan kegamangan dari para pelaku dalam mengambil keputusan atau kebijakan.

Catatan Penutup

Program Gerdu Kempling yang dicanangkan Walikota Semarang merupakan bentuk operasional dari sapta program yang tujuan besarnya adalah untuk pencapaian visi kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa yang berbudaya menuju masyarakat sejahtera. Dengan kata lain gerdu kempling merupakan instrument untuk mewujudkan visi kota Semarang. Untuk itu dibutuhkan kelembagaan yang kuat agar program gerdu kempling dapat berkelanjutan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama, program gerdu kempling harus dapat menjadi saluran yang dapat meningkatkan arus komunikasi dua arah, Artinya dalam hal ini masyarakat lokal tidak hanya berperan sebagai penerima manfaat tetapi juga subyek yang aktif yang mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Kedua, Program Gerdu kempling harus mampu mereduksi atau meminimalisisr faktor resiko yang dapat menghambat penacapaian hasil program. Ketiga, mampu mengadaptasikan aktivitas program dengan kondisi lokal mengingat karaktersitik masyarakat yang beragam. Keempat mampu mengembangkan sumber daya lokal dalam pemenuhan target atau capaian kegiatan.. Kelima, mampu mendorong independensi keputusan ekonomi dan politik masyarakat loka sehingga masyarakat merasa lebih diakui keberadaannya. Keenam, sanggup mengkoordinasikan dan mendistribusikan keuntungan dan kemanfaatan berbagai bentuk bantuan dari luar dengan baik. 
Upaya tersebut dapat terwujud manakala para pelaku program Gerdu Kempling terus meningkatkan kapasitasnya. Dengan demikian pengembangan kapasitas (capacity buiding) yang mencakup dimensi individu, organisasi dan sistem harus menjadi bagian yang melekat dalam program Gerdu Kempling sehingga tantangan yang mungkin singgah dalam pelaksanaan program gerdu kempling dapat segera diatasi.

4 comments:

  1. saya kira kalo programnya lebih fokus lebih bisa terasa hasil dan dampaknya....ambil sampel saja 2-3 kelurahan difokuskan sesuai potensinya pasti lebih berhasil..
    daripada membagi2 uang walaupun kelihatannya banyak tetapi hasilnya sedikit, terasa hambar..
    SAlam...peace.....
    edi handoko

    ReplyDelete
  2. Bisa juga mungkin melalui poject pilot dulu, baru kemudian dibuat lebih massif setelah diketahui kekurangan atau hambatan dan rumusan solusinya. Masalahnya banyak Pemda yang tergoda menerapkan kebijakan yang populis tanpa terlebih dulu menyiapkan instrument yang dibutuhkan agar sebuah program dapat leading ya akhirnya memang kurang malsimal tapi semangatnya tetap perlu kta apresiasi...

    ReplyDelete
  3. Program yang bagus..perlu diberikan apresiasi yang tinggi...sekedar saran kalau bisa pada pelaksanaannya harus benar-benar dikawal dan dikontrol agar tujuan program dapat tercapai secara efektif....

    ReplyDelete