10.2.12

Critical Review Tesis Tentang Perda Parkir Kota Semarang


Era otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 ( yang selanjutnya diperbarui menjadi UU No. 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah  dan UU No 25 Tahun 1999 ( yang selanjutnya diperbarui menjadi UU NO 33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah telah memberikan pengaruh yang significant  terhadap proses pembangunan di daerah. Kedua UU yang menjadi landasan pelaksanaan otonomi daerah tersebut memberikan jaminan bagi daerah untuk melaksanakan program-program pembangunan didaerahnya masing-masing dengan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki. Fenomena ini juga menandakan dimulainya era desentralisasi pengelolaan pemerintahan di Indonesia.

Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwasanya “kebijakan desentralisasi Daerah diarahkan untuk mencapai peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas Pemda, keselarasan hubungan antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah itu sendiri dalam kewenangan dan keuangan untuk menjamin peningkatan  rasa kebangsaan,  demokrasi dan kesejahteraan serta penciptaan  ruang  yang  lebih luas  bagi kemandirian Daerah”.

Sebagai konsekuensi  dari pemberian otonomi yang luas maka sumber-sumber keuangan telah banyak bergeser ke Daerah baik melalui perluasan basis pajak (taxing power) maupun dana perimbangan. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi fiskal yang mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan:   (1)  kewenangan  untuk  memanfaatkan  sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tetap mendasarkan batas kewajaran. (2) didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.

Sebagai salah  satu tujuan yang hendak dicapai  di  dalam pelaksanaan  desentralisasi dan otonomi Daerah,  jargon tentang kemandirian Daerah bukan  hal yang baru. Secara teoritis pengukuran  kemandirian Daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai dengan  Undang  Undang  No 22 tahun  1999 disebutkan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :
  1. Hasil pajak daerah
  2. Hasil retribusi daerah
  3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 
  4. lain lain pendapatan asli daerah yang sah
Namun di dalam perkembangan selanjutnya, diantara semua komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD), pajak dan  retribusi daerah merupakan penyumbang terbesar, sehingga muncul  anggapan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) identik dengan pajak dan retribusi Daerah. Terkait dengan retribusi, dalam Undang Undang no 34 tahun 2000 disebutkan tentang jenis retribusi yang terdiri dari : 
  1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan.Pelayanan  yang  digolongkan sebagai  jasa usaha tersebut tergolong  quasy goods dan pelayanan yang memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan  biaya penyediaan  layanan tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan pada masyarakat misalnya : retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP dll.
  2. Retribusi Jasa  Usaha  merupakan pungutan  yang dikenakan oleh daerah berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan misalnya : retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan dll.
  3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerah misalnya : IMB, Ijin Pengambilan Hasil Hutan Ikutan, Pengelolaan Hutan dll.
Salah satu retribusi yang banyak  dilakukan Pemerintah Kabupaten/kota adalah  retribusi parkir tepi jalan umum. Markus Max’s Enembe dalam Tesisnya yang berjudul : Studi Implementasi Peraturan Daerah Nomer 1 tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Parkir Tepi Jalan Umum Kota Semarang ( Studi Kasus Di Kawasan Simpang Lima ).  Makalah ini dimaksudkan untuk melakukan Critical Review terhadap Tesis tersebut .

Critical Review

Dalam tesisnya Enembe menyatakan bahwa tujuan dari penelitiannya mengenai studi implementasi kebijakan perparkiran di tepi jalan umum adalah untuk mengkaji seberapa berhasil implementasi Peraturan Daerah No. 1 tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Parkir Tepi Jalan Umum  yang dihubungkan  dengan tingkat komunikasi, isi praturan daerah dan sikap Juru Parkir  di Kawasan Simpang Lima, Kota Semarang. Hasil penelitian menunjukan  bahwa implementasi Peraturan Daerah No. 1 tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Parkir Tepi Jalan Umum di Kawasan Simpang Lima, Kota Semarang kurang berhasil.

Ketidakberhasilan tersebut terlihat dari rendahnya pendapatan pemerintah dari retribusi parkir. Sampai dengan Desember 2004 pendapatan parkir tepi jalan umum dari Kawasan Simpang Lima hanya Rp.23.463.500 dari  hal ii target yang dibebankan Rp.176.247.000. Kegagalan pemerintah dalam memperoleh pendapatan dari retribusi parkir seperti yang telah ditargetkan tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal. Enembe dalam tesisnya menyatakan paling tidak ada tiga aspek yang menyebabkan kegagalan pemerintah kota Semarang untuk memenuhi target pemasukan dari retribusi parkir. Pertama, tidak adanya komunikasi antara pemerintah dan para juru parkir serta coordinator lapangan (korlap). Hal tersebut menyebabkan para juru parkir dan Koordinator lapangan kurang memiliki informasi tentang peraturan daerah No 1 tahun 2004. Kurangnya informasi tersebut  terlihat dari adanya pertemuan sosialisasi tentang peraturan daerah parkir tepi jalan umum tersebut kepada para Juru Parkir (Jukir) hanya berlangsung dua kali ketika pengenalan tentang adanya Peraturan Daerah Nomor: 1 tahun 2004 yang hanya diikuti oleh sebagian Juru Parkir yaitu 21 Juru Parkir dari 37 Juru Parkir (Jukir), alasanya sosialisasi tersebut tidak diketahui para Juru Parkir (Jukir) sehingga yang terjadi tidak semua para Juru parkir (Jukir) mengerti dan paham tentang adanya peraturan daerah tentang parkir tepi jalan umum, sedangkan para Juru Parkir lainnya mengetahui sebagian informasi tentang peraturan daerah parkir tepi jalan umum hanya sebatas dari papan informasi tentang peraturan daerah yang berisi poin-poin tarif parkir dan itupun hanya terbatas terpasang di depan Citraland saja padahal di kawasan Simpang Lima terdapat titik-titik parkir  seperti di depan Ramayana, Masjid Baiturahman, Plaza Semarang dan di  depan Matahari sebelah Selatan.

Kedua, Isi peraturan Daerah tersebut yang dianggap kurang mengakomodir kepentingan para juru parkir dan Koordinator lapangan, Koordinator  Lapangan sebagai pihak yang sejak dulu menjadi koordinator bagi para Juru Parkir di titik-titik parkir tidak dimasukan dalam peraturan daerah padahal mereka beranggapan sejak dulu dari mulai terdapat parkir tepi jalan umum mereka adalah pihak yang sejak lama mengelola tempat parkir yang dibantu para Juru Parkir (Jukir) sebelum peraturan tentang parkir tepi jalan umum diberlakukan, keadaan demikian membuat para Korlap tidak puas terhadap kebijakan Peraturan Daerah No.1 Tahun 2004 sehingga mereka merasa menjadi pihak yang dirugikan.  

Ketiga, Sikap para juru parkir yang enggan menyetorkan uang parkir kepada UP Perparkiran. Akibat yang ditimbulkan dari kondisi tersebut mereka berselisih dengan Unit Pengelolaan (UP) Perparkiran Kota Semarang dan cenderung melakukan tindakan tidak mendukung implementasi kebijakan. Unit Pengelolaan (UP) Perparkiran Kota Semarang yang mengeluarkan peraturan daerah parkir tanpa melibatkan para Juru Parkir (Jukir) dan Korlap artinya mengeluarkan kebijakan peraturan daerah parkir tepi jalan umum secara sepihak yang pada akhirnya hanya menyuruh Para Jukir menyetor kepada UP. Perparkiran menyebabkan terjadinya prilaku para jukir untuk menyetor retribusi parkir merasa keberatan untuk menyetor hasil retribusi parkir tepi jalan umum kepada Unit Pengelolaan (UP) Perparkiran Kota Semarang sehingga yang terjadi berpengaruh terhadap efektifitas pemasukan retribisi pendapatan parkir.

Ketiga aspek yang dikemukakan Enembe (2006) sebagai penyebab rendahnya pemasukan dari retribusi parkir ke pemerintah kota Semarang bersifat sangat teknis. Ketiga permasalahan tersebut seyogyanya memang segera diselesaikan oleh Pemerintah Kota Semarang melalui langkah-langkah operasional yang terukur dan terencana. Tetapi gambaran tentang permasalahan perparkiran kota Semarang menurut penulis pada dasaranya menunjukkan fenomena tentang  perilaku pemerintah local dalam menterjemahkan otonomi daerah. 

Sejauh ini, nampaknya banyak pemerintah lokal ( kabupaten/kota) yang menterjemahkan otonomi daerah sebatas penggalian potensi-potensi penerimaan daerah. Implementasinya kemudian lebih banyak dimaknai sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) dalam jangka pendek. Hal ini menyebabkan era otonomi daerah menjadi era “banjir Perda” dimana masing-masing pemerintah kabupaten/kota menyusun Perda-Perda yang dapat memberikan kontribusi pemasukan kepada daerah. Akibanya, banyak Perda-perda yang dibuat tanpa memperhatikan aspek lingkungan eksternal mereka sehingga tak jarang memunculkan wacana pembatalan terhadap sebuah Perda.

Studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah ( KPPOD ) pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 351 Perda yang dianalisis, terdapat 96 (27%) yang merupakan Perda tidak bermasalah, sedangkan sebanyak 257 (73%) adalah Perda bermasalah, baik masalah yuridis, substansi, maupun prinsip. Jika di total paling tidak terdapat 11.401 Perda yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi (PDRD) yang ditolak oleh Pemerintah Pusat karena dianggap bermasalah. Banyaknya Perda yang diidentifikasi sebagai bermasalah tersebut mengundang pertanyaan tentang paradigma apparatus Pemerintah Lokal ( Provinsi/kabupaten/kota) dalam meng-create Peraturan-Peraturan Daerah terutama yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi yang merupakan andalan bagi pemasukan Pemerintah Daerah. Penelitian  yang  dilakukan  Lewis  (dalam Adi, 2007) juga menunjukkan  bahwa  daerah-daerah  sangat  agresif  dalam  mengeluarkan  perda  terkait dengan PAD, khususnya menyangkut retribusi dan pajak daerah.

Terkait dengan Perda pengelolaan parkir, Pemerintah Kota Semarang memberikan tanggungjawab penyelenggaraan parkir tepi jalan umum kepada Dinas Perhubungan yang pelaksnaannya diserahkan pada Unit Pengelolaan Perparkiran c. q Unit Pengelolaan Perparkiran Tepi Jalan Umum Kota Semarang dan sebagai penarik/ petugas parkir di lapangan diserahkan pada Juru Parkir (Jukir).  Dalam tesis Enembe digambarkan betapa antara Unit Pengelola Parkir ( UPP ) dengan para juru parkir dan coordinator lapangan saling bertolak belakang. Masing-masing membawa kepentingan yang berbeda sehingga pendapatan dari parkir yang diterima oleh pemerintah kota Semarang tidak optimal, bahkan jauh dari target (studi tahun 2006).

Menurut penulis, dari studi yang dilakukan Enembe, dapat diketahui factor-faktor lain yang menyebabkan rendahnya pemasukan daerah dari retribusi parkir yakni sebagai berikut, Pertama, Faktor efisiensi dan efektifitas dalam penyelenggaraan pungutan. Yang dimaksud dengan efisiensi adalah ukuran penyelenggaraan retribusi parkir dalam mencapai target yang telah ditetapkan. Sedangkan efektifitas adalah ukuran kualitas outlut tersebut. Penyelenggaraan retribusi parkir yang kurang efektif dan efisien tersebut disebabkan karena masih adanya permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan retribusi parkir, hal ini disebabkan karena belum optimalnya system pungutanyang meliputi :
  1. Pengumpulan pendapatan oleh petugs tidak resmi
  2. Penarikan tarif yang lebih tinggi, dimana juru parkir sering meminta melebihi tariff yang telah ditentukan.
  3. Juru parkir yang tidak menyetorkan hasil retribusi yang dipungutnya
  4. Penggunaan karcis yang lebih dari satu kali
  5. Penolakan untuk membayar oleh para pengguna jasa layanan parkir.
Faktor Kedua adalah kemampuan managerial dan administrasi keuangan dan pendapatan daerah. Berdasarkan UU no 34 tahun 2000, kemampuan pengelolaan keuangan retribusi daerah masih sangat kurang, untuk itu diperlukan usaha pengelolaan dan pengembangan kelembagaan yang mencakup :
  1. Optimasi kinerja lembaga pengelolaan keuangan dan pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi parkir
  2. Pembuatan bagian khusus atau lembaga baru yang khusus mengelola retribusi daerah, namun demikian pembentukan lembaga baru tetap harus dipertimbangkan secara seksama agar tdak menjadi beban pembiayaan daerah, yang perlu digarisbawahi adalah tujuan dari pembentukan lembaga baru tersebut adalah agar pungutan berada dalan satu pengelolaan sehingga akan meminimalkan pungutan oleh pihak lain yang tidak bertanggungjawab.
Agar kedua factor yang ditambahkan penulis dalam critical review ini dapat diterjemahkan secara lebih operasional, tentunya dibutuhkan penelitian lebih lanjut sehingga permasalahannya dapat diurai dengan lebih jelas.

Kesimpulan

Persoalan pengelolaan parkir  tepi jalan umum sebagai salah satu sumber pemasukan  pemerintah kota Semarang ternyata belum sesuai dengan target yang telah ditentukan. Hasil Studi yang dilakukan Enembe pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari target Rp.176.247.000  yang bisa diterima pemerintah daerah hanya sebesar Rp.23.463.500. Kegagalan tersebut menurut Enembe adalah karena . Pertama, tidak adanya komunikasi antara pemerintah dan para juru parkir serta coordinator lapangan (korlap). Kedua, Isi peraturan Daerah tersebut yang dianggap kurang mengakomodir kepentingan para juru parkir dan Koordinator lapangan, Ketiga, Sikap para juru parkir yang enggan menyetorkan uang parkir kepada UP Perparkiran. Dari hasil critical review ini, penulis menemukan factor-faktor lain yang juga mempengaruhi kegagalan pemerintah dari retribusi parkir adalah Pertama, Faktor efisiensi dan efektifitas dalam penyelenggaraan pungutan, Kedua adalah kemampuan managerial dan administrasi keuangan dan pendapatan daerah termasuk kemampuan pengelolaan keuangan retribusi daerah masih sangat kurang, untuk itu diperlukan usaha pengelolaan dan pengembangan kelembagaan.

Daftar Pustaka

Markus Max’s Enembe:  Studi Implementasi Peraturan Daerah Nomer 1 tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Parkir Tepi Jalan Umum Kota Semarang ( Studi Kasus Di Kawasan Simpang Lima ). Program Studi Magister Ilmu Administrasi, Unversitas Diponegoro, Semarang, 2006
Priyo Hari Adi,  Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi, (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa –  Bali) Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana
KPPOD, Kajian Peraturan Daerah, Jakarta,  2002
Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Retribusi Daerah
Prof. Dr. M Ryas Rasyid, MA , (dkk) , Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Maret 2002

No comments:

Post a Comment