3.1.12

Community Driven Development : Pendekatan Dalam Menata Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas


Menurut Parwoto (1985), akar permasalahan permukiman sesungguhnya tidak terletak pada kondisi fisik perumahan itu sendiri tetapi pada cara memandang perumahan yang berakar pada “pola dasar berfikir sebagai titik tolak untuk memilih, merumuskan dan mengembangkan teori sebagai landasan definisi dan tindakan”. Secara teoritis terdapat dua kutub yang berseberangan dalam memahami persoalan perumahan dan permukiman. Kutub pertama percaya bahwa persoalan perumahan dan permukiman yang menjadi bagian dari persoalan kemiskinan akan dengan sendirinya terselesaikan jika pembangunan ekonomi negara sudah mapan. Pada kutub yang lain, para ahli tidak percaya bahwa kaum miskin kota dapat keluar dari kemiskinannya jika cara-cara produksi kapitalis (capitalis mode of production ) masih berfungsi.

Turner (dalam Khudori, 2002) menyampaikan pandangannya tanpa menyinggung soal “struktur makro”, mempromosikan pembangunan perumahan oleh penghuninya sendiri (self help housing). Lebih jauh ia menyatakan karena perumahan merupakan proses yang berkelanjutan, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan penghuninya, perumahan tidak bisa distandardisasikan, sedangkan organisasi-organisasi besar macam Pemerintah, perusahaan industri, perusahaan perumahan, tidak akan mampu memcahkan masalah perumahan. Karena itu, sebagian dari proses pembangunan perumahan harus dipercayakan kepada penghuninya. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa Peran pemerintah harus dirubah bukan lagi sebagai perancang, pembangunan dan pemasok perumahan standard serta penggusur perumahan (yang dianggap) liar, melainkan sebagai fasilitator melalui tiga tindakan. Pertama, menyediakan prasarana umum seperti jaringan jalan, listrik, telepon, air bersih, air kotor dan air hujan. Kedua, menetapkan aturan hukum yang bersifat lebih legislatif daripada eksekutif, yakni menentukan apa-apa yang tidak boleh dilakukan, dan bukan apa-apa yang harus dilakukan oleh penghuni. Ketiga, menyediakan dan melindungi akses (access) rakyat kepada sumber-sumber proses pembangunan perumahan, yakni hukum, tanah, bahan bangunan utama, pengetahuan teknik dasar.

Disisi lain Rod Burgess menentang gagasan Turner yang mengaggap melakukan depolitisasi masalah perumahan dan negara. Mengutip Engels, Burgess (dalam Khudori, 2002, hal.115) berkesimpulan bahwa, “ Selama cara-cara produksi kapitalis terus berlangsun, sungguh gila mengharapkan bahwa perumahan kaum buruh merupakan masalah terpisah. Pemecahannya hanya terletak pada pelenyapan cara-cara produksi kapitalis dan pengambilalihan seluruh sarana kehidupan dan peralatan kerja oleh kelas buruh itu sendiri “. Pandangan Burgess tersebut menunjukkan posisi ideologis kaum Marxis yang tidak percaya kaum miskin kota dapat keluar dari kemiskinannya jika cara-cara produksi kapitalis (capitalis mode of production) masih berfungsi. Dengan kata lain paradigma marxian dan variannya yakni teori dependensia berpandangan bahwa kemiskinan yang diantaranya dicirikan oleh ketiadaan atau buruknya lingkungan perumahan dan permukiman lebih disebabkan oleh struktur “makro” yang tidak memungkinkan kaum miskin memiliki “akses” yang sama dengan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat lainnya dalam rangka ikut serta dalam mengambil keuntungan dari proses ekonomi dan politik di suatu negara.

Dalam praktiknya kedua pandangan tersebut menemukan konteksnya dalam permasalahan perumahan dan permukiman di Indonesia. Berbagai program pembangunan perumahan dan permukiman mungkin telah berhasil memperbaiki lingkungan fisik tetapi tidak berhasil memberi dampak sampingannya yang diharapkan seperti: (1) Pembangunan pranata (community management) seperti pengembangan sentra ekonomi bersama, jaring produksi dan pemasaran serta pembangunan sentra pelayanan sosial komunitas yang dapat mendorong terbukanya akses masyarakat untuk perbaikan ekonomi kelompok sasaran dan peningkatan kualitas kehidupan. (2) Tumbuhnya kreatifitas dan inovasi (community entreprenuership) dalam merencanakan lingkungan permukiman mereka yang kondusif bagi peningkatan kualitas hidup. (3) Perubahan perilaku (attitude) seperti budaya tertib, aman, bersih, sehat dan memiliki kepedulian sosil yang tinggi. Hal ini menunjukkan pandangan Turner yang menjelaskan bahwa pembangunan perumahan harus dipercayakan kepada penghuninya tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia yang sekaligus juga mengungkapkan pandangan Burgess tidak sepenuhnya meleset. Namun demikian pandangan Burgess juga memiliki kelemahan. Kelemahan pandangan Burgess barangkali terletak pada anggapan bahwa kapitalis itu sebagai badan tunggal yang solid. Dalam kenyataannya menurut Peatti ( dalam Khudori, 2002) kapitalis sendiri memiliki banyak faksi yang memiliki kepentingan berbeda-beda.

“Persamaan” dari kedua pandangan tersebut barangkali terletak pada kenyataan bahwa keduannya sama-sama masih melihat negara juga memiliki peran dalam penyelesaian permasalahan perumahan dan permukiman meskipun dengan derajat peran yang tentu saja berbeda antar keduanya dalam menganalisis peran negara. Hal yang sama juga dikemukakan Manaf (2008) terkait dengan issu kepemilikan/penyediaan rumah,” Dalam kondisi dimana mekanisme pasar bebas tidak dapat diharapkan untuk merasionalisasikan distribusi pendapatan bagi seluruh masyarakat (market failure), maka dukungan atau bantuan pemerintah masih sangat dibutuhkan”. Dengan demikian bagaimana kemudian kita memahami pesoalan perumahan dan permukiman adalah dengan memahami secara menyeluruh konteks permasalahan yang ada terkait dengan kekuatan negara dan dinamika internal masyarakat itu sendiri sebagaimana juga dikemukakan Peatti yakni dengan memahami persoalan-persoalan konstelasi kekuatan-kekuatan dan konflik yang bermain pada suatu ruang dan waktu tertentu.

Gerakan Permukiman : Community Driven Development

Berdasarkan pandangan teoritik diatas, maka nampaknya permasalahan perumahan dan permukiman tidak bisa hanya didekati dari satu sisi baik itu sisi Pemerintah, Masyarakat maupun Individu (keluarga) dan Swasta (kontraktor/pengembang/donor), namun harus didekati secara sinergis dengan pembagian peran yang proporsional antar seluruh stakeholder (pemerintah-Masyarakat dan Swasta). Pada konteks ini terdapat dua sisi pendekatan yang umum digunakan. Pertama adalah demand side, yakni pendekatan yang bertumpu pada aspek permintaan dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Kedua adalah pendekatan supply side yang melihat permasalahan perumahan dan permukiman dari sisi penawaran. Fenomena rumah kosong yang banyak terjadi di Indonesia adalah salah satu dampak dari pendekatan supply side. Pendekatan sisi penyediaan (supply side) yang selama ini diterapkan dipandang cenderung memihak kepada kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi bukan kepada masyarakat yang sungguh-sungguh membutuhkan rumah. Sumber daya kunci pembangunan perumahan yang terbatas (lahan, pembiayaan, teknologi, bahan bangunan dan sebagainya) tidak dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mengatasi permasalahan perumahan yang ada. (Manaf, 2008).

Pergeseran paradigma tata kepemerintahan di Indonesia dari sentralistik ke desentralistik, dari government ke governance seperti telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya membuka peluang bagi munculnya inisiatif lokal dalam penyelesaian masalah-masalah perumahan dan permukiman baik yang terkait dengan issu kepemilikan/penyediaan rumah maupun issu penataan lingkungan permukiman yang mengarah kepada pendekatan demand driven terlebih lagi jika melihat besarnya potensi swadaya masyarakat sebagaimana yang dikemukakan Manaf (2008) :

” Secara empirik upaya pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat di Indonesia hampir 90% dilakukan oleh masyarakat secara mandiri (swadaya). Hanya 10% saja dari total kebutuhan yang dapat disediakan oleh pihak pengembang (Panuju, 1999; Kompas 10 Mei, 1996), sehingga dapat dikatakan bahwa potensi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumahnya secara swadaya adalah sangat besar. ... Namun demikian pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat secara spontan dan swadaya (spontaneous self-help) ini biasanya bersifat individual dan tidak terencana sehingga kurang memenuhi persyaratan baik secara teknis maupun planologis. maka potensi pembangunan perumahan swadaya yang besar tersebut perlu diarahkan dan diorganisir secara „kooperatif“ atau „berkelompok“ (organized self-help) sehingga kegiatan pembangunan dapat lebih terencana dan terarah menuju terwujudnya perumahan yang minimal dapat diterima secara sosial (Sosially acceptable norm) atau bahkan memenuhi standard rumah sehat yang ideal (formal standard)”

Dari penjelasan yang dikemukakan Manaf maka agar pendekatan demand side memiliki daya dorong yang besar maka ia perlu diarahkan dan diorganisir secara kooperatif atau berkelompok (community driven development). Namun mengingat kompleksitas persoalan perumahan dan permukiman maka kelompok dalam pengertian community driven development bukan sekedar panitia pembangunan atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang bekerja pada saat berlangsungnya proyek sebagiamana praktek yang terjadi pada beberapa program yang dilakukan pemerintah. Tak dapat dipungkiri kelompok-kelompok semacam itu telah berperan dalam mensukseskan sebuah program pembangunan melalui penggalangan swadaya, namun selain perbaikan pada lingkungan fisik (settlement improvement). sebagaimana telah saya sampaikan, dampak sampingan yang diharapkan seperti peningkatan ekonomi, perubahan perilaku sera tumbuhnya kreativitas dan inovasi tidak terjadi. Dengan demikian maka kelompok yang dimaksudkan adalah kelompok yang memiliki visi emansipatoris. Sehubungan dengan hal tersebut gagasan Khudori tentang Gerakan Permukiman nampaknya perlu direnungkan. Khudori (2002) mengartikan gerakan permukiman sebagai upaya-upaya mendorong dan mewujudkan prakarsa kaum miskin kota dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan permukiman.

Terkait dengan lingkup Gerakan Permukiman, Khudori (2002) Dalam bukunya Menuju Kampong Pemerdekan, menyatakan bahwa lingkup Gerakan Permukiman berada pada dua aras yakni aras “mikro” dan aras “makro” Pada aras “mikro” Gerakan Permukiman meliputi kegiatan-kegiatan pembangunan fisik, ekonomi, Sosial, budaya dan politik (lokal) termasuk dalam hal ini adalah partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengadaan fasilitas sosial. Sedangkan pada tingkat “makro”, Gerakan Permukiman berkenaan dengan kebijakan pemerintah di bidang perencanaan dan pembangunan permukiman seperti mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) mengenai tata ruang / zonasi, mendorong pemerintah untuk menganggarkan dana pembangunan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan-kegiatan partisipatif (partisipatory budgeting) termasuk juga kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat. Dalam konteks strategi gerakan permukiman, menurut Khudori terdapat tiga strategi yang dapat ditempuh. Pertama, meningkatkan “kekuatan” (politik). Potensi yang dimiliki kaum miskin adalah diri mereka sendiri (orang). Potensi ini dapat dikembangkan menjadi organisasi semacam paguyuban warga kampong. Kedua, Meningkatkan “daya tukar/beli” dan “akses”. Dan ketiga, Pengembangan masyarakat Perkotaan.

Catatan Penutup.

Gerakan Permukiman yang di gagas Khudori harus dipahami dalam upayanya mendorong keberlanjutan proses pembangunan sebuah lingkungan/kawasan permukiman. Dengan demikian, maka gerakan ini harus bisa mengakomodir keterlibatan pihak eksternal dalam perannya sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pembangunan/penataan lingkungan permukiman. Gerakan permukiman ini karenanya diharapkan dapat memberikan spirit dalam sebuah proses pembangunan yang sejatinya merupakan transformasi Sosial yang berdurasi panjang dan karenanya membutuhkan kesinambungan. Tanpa merubah orientasi sebuah komunitas dari sekedar panitia pembangunan menjadi sebuah gerakan maka program-program pembangunan yang tengah marak dilakukan pemerintah hanya akan bersifat artificial dalam arti sekedar perubahan fisik lingkungan tapi tidak menghasilkan efek transformative seperti munculnya kelembagaan Sosial yang kuat, mengakar dan representative sebagai motivator, inisiator dan fasilitator pembangunan dalam mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, nyaman, aman dan lestari. Perubahan orientasi ini juga mencakup perubahan perilaku komunitas yang berorientasi proyek (project oriented ) menjadi berorientasi pemberdayaan (empowerment oriented), maka ia harus bisa mencetak pribadi-pribadi dalam komunitas yang memiliki kecenderungan altruistic. Dalam paradigma governance Gerakan Permukiman akan mendorong perwujudan tata kelola kelembagaan publik yang semakin baik, mengurangi celah birokrasi yang koruptif melalui pendelegasian wewenang kepada komunitas untuk mengelola dana-dana pembangunan. Akhirnya Gerakan Permukiman haruslah menjadi agenda utama dalam menyelesaikan permasalahan perumahan dan permukiman yang berbasis pada Community Driven Development yang niscaya bisa dilakukan melalui pendekatan Pemberdayaan Masyarakat.

No comments:

Post a Comment