11.4.10

Membangun Institusi Local Sebagai Mitra Dalam Program Nangkis


Persoalan kemiskinan terkait dengan paradigma pembangunan yang digunakan penguasa. Di zaman orde baru, pemerintah Indonesia sangat bersemangat dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dengan keyakinan penuh trickle down effect akan terjadi sehingga kue pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali kaum miskin, kenyataannya eksploitasi sumberdaya alam yang tak terkendali demi mengejar pertumbuhan ekonomi ditambah dengan mental birokrasi yang koruptif semakin mempercepat proses pemiskinan.
Ketika akses ke sumber-sumber kunci yang dibutuhkan masyarakat dikuasai oleh segelintir orang yang tidak memiliki kepedulian, maka pembangunan hanya akan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek mereka beserta kroni-kroninya. Pengendalian terhadap sumber daya-sumber daya kunci ini membutuhkan peran serta masyarakat. Masyarakat yang memiliki kesadaran kritis atas hakekat pembangunan berkelanjutan lah yang paling mungkin untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan pembangunan serta kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka.
Konsepsi inilah yang mendasari paradigma pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (manusia) sebagai antithesa atas paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Moeljarto Tjokrowinoto (1987) memberikan deskripsi mengenai ciri-ciri pembangunan yang berpusat pada rakyat (manusia):  Pertama, prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri.  Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.;  Ketiga, pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya flexible menyesuaikan dengan kondisi lokal; Keempat, di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses  sosial learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari  proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar;  Kelima,  proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mendiri, merupakan bagian  integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.
Perwujudan proses networking ini adalah Kemitraan antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat ( Public, Private, Community Partnership ).  PPCP merupakan kemitraan antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat yang secara bersama-sama melakukan kerjasama dalam pembangunan dan atau pengelolaan prasarana dan sarana. Investasi yang dilakukan dapat bersifat padat modal ataupun tidak padat modal tergantung dari kebutuhan masyarakat dan kemampuan mitra. Mitra Swasta dan Masyarakat membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan Pemerintah tetap sebagai pemilik aset serta pengatur dan pengendali pelaksanaan kerjasamana. Hubungan kemitraan ini berdasarkan atas kepercayaan, dedikasi dalam mencapai tujuan, dan saling mengerti akan harapan-harapan serta nilai-nilai setiap partisipan. Mengharapkan keuntungan dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas biaya, kesempatan dalam berinovasi,dan peningkatan secara berkelanjutan atas kualitas produk dan pelayanan. (Bennett, 1996)
Pada konteks local upaya membangun kemitraan dengan Pemerintah maupun swasta mensyaratkan perlunya kelembagaan lokal/institusi lokal.  Lokal menurut pemahaman UU No. 32 Tahun 2004 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/ kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa (Rahmat, 2008). Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan Uphoff, 1982, dalam Rahmat, 2008).
Institusi lokal merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan berkelanjutan karena beberapa hal, antara lain (Uphoff, 2008): (1) Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, lembaga, terutama di tingkat lokal, merupakan faktor penting dalam memobilisasi sumber daya dan mengatur penggunaannya guna mempertahankan ketersediaannya untuk jangka panjang dalam kegiatan produktif. (2) Pemanfaatan sumber daya yang tersedia akan lebih efisien dan berkelanjutan dengan adanya pengetahuan tentang lokasi yang dapat dihasilkan dan lebih baik diintrepretasikan oleh kelembagaan local. (3) Pemantauan perubahan kondisi sumber daya bisa lebih cepat dan lebih murah dilakukan ketika masyarakat lokal terlibat; membuat perubahan adaptif dalam penggunaan sumberdaya dapat dipercepat ketika pengambilan keputusan lokal telah terlembagakan. (4) Jika tidak ada kelembagaan lokal, apabila terjadi konflik, maka konflik tersebut harus didelesaikan di tingkat yang lebih tinggi yang akan lebih lambat serta tidak akan menghasilkan penyelesaian yang tepat. (5) Perilaku masyarkat dikondisikan oleh norma-norma dan konsensus yang berlaku, sehingga mempertahankan atau melembagakan praktek-praktek yang ramah lingkungan membutuhkan lebih dari sekedar persuasi individu. (6) Kehadiran lembaga akan mendorong orang untuk berpandangan jangka panjang dengan menciptakan harapan dan dasar untuk kerjasama dengan mengesampingkan kepentingan pribadi. Ketika lembaga yang sah ada, maka orang-orang akan tunduk tanpa (atau dengan sedikit) bujukan dan sanksi.
Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang (cross-cutting affiliation),institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini akan melahirkan modal sosial (sosial capital) yang merupakan factor penting dalam pembangunan.
Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif. Basis modal sosial adalah trust, idiologi dan religi (Rahmat, 2008). Francis Fukuyama (1995, dalam Rahmat, 2008) mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe and vertrauen artinya bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan. .
Hal yang sama juga dikemukakan Putnam (1995) yang mengartikan modal sosial sebagai “features of sosial organization such as networks, norms, and sosial trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringkerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini sajalan pula dengan apa yang dikemukakan Bank Dunia (1999) bahwa modal sosial lebih diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang tercipta, norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya, tapi juga perekat (sosial glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan.
Dengan demikian, maka kelembagaan local yang baik akan menjamin kualitas kemitraan dengan pemerintah maupun kelompok-kelompok peduli/swasta dalam program penanggulangan kemiskinan, karena ada jaminan dalam bentuk partisipasi (swadaya) masyarakat dan control social terhadap pengelolaan sumber daya yang ada baik berupa dana maupun yang lainnya dari pemerintah/swasta. Kondisi ini akan memberikan rasa nyaman dan saling percaya antara semua pihak yang bermitra sehingga tujuan besar penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

3 comments:

  1. Replies
    1. Pa kabar mas bro....lama gak ketemu.., kapan main ke semarang?

      Delete
    2. Pa kabar mas bro....lama gak ketemu.., kapan main ke semarang?

      Delete