1.11.09

Perspektif Sitar Dalam Pengelolaan Kawasan yang Cepat Berkembang di Sekitar Kampus UNDIP Tembalang

Pendahuluan
Tema tentang perencanaan menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari aktivitas manusia. Karena sifatnya yang inheren dengan kehidupan manusia maka tidaklah mengherankan jika perencanaan menjadi issu penting yang melahirkan banyak sekali kajian-kajian. Persoalan perencanaan telah menarik minat banyak ilmuwan social yang kemudian merumuskannya kedalam berbagai teori perencanaan. Namun demikian teori tidak lebih dari pedoman untuk membantu memahami sebuah fenomena dan selanjutnya menyusun hipotesa tentang fenomena tersebut. Karena ruang lingkup perencanaan terkait dengan aktivitas/kegiatan manusia yang luas dan dinamis maka tidaklah mudah mendefinisikan perencanaan semata-mata kedalam model matematika yang statis. Itulah sebabnya sebuah fenomena selalu bisa dilihat dari berbagai pespektif atau sudut pandang.

Secara umum perspektif perencanaan bisa diklasifikasikan kedalam dua mainstream. Pertama model perencanaan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang dikenal dengan model perencanaan rasional. Model perencanaan ini berakar dari pemikiran neoklasik. Model ini telah mengilhami para ilmuwan social untuk mengembangkan teori kritik sebagai counter wacana atas kegagalan teori perencanaan rasional yang seolah menegasikan aspek-aspek social. Teori ini berakar dari tradisi marxis. Meski demikian terdapat banyak varian dalam model perencanaan yang kerangka epistemologinya seolah-olah tumpang tindih antara tradisi neoklasik dan marxis. Hal ini dimungkinkan karena bagaimanapun ilmu pengetahuan adalah sebuah organisme yang hidup dan berkembang sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi sintesa dalam sebuah tradisi ilmu pengetahuan.

Salah satu tradisi dalam teori perencanan datang dari Hudson ( 1979 ) yang mengklasifikasikan teori perencanaan kedalam lima kategori yang dikenal dengan akronim SITAR yakni Sipnotik, Incremental, Transaktif, Advokasi, dan Radikal. Untuk menjelaskan kelima kategori Hudson ( SITAR ), dalam tulisan ini penulis berusaha mendekatkan perspektif SITAR ini dengan fenomena kawasan yang cepat berkembang di sekitar kampus UNDIP terkait dengan pengelolaannya, sehingga dapat diketahui tradisi mana yang paling tepat digunakan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya penulis memaparkan sekilas tentang kawasan di sekitar kampus UNDIP Tembalang.

Kawasan Sekitar Kampus UNDIP Tembalang
Kawasan di sekitar kampus UNDIP tembalang terdiri dari empat kelurahan yakni Kelurahan Tembalang, Kelurahan Pedalangan, Kelurahan Sumurboto dan Kelurahan Bulusan. Secara geografis keempat kelurahan tersebut bercorak agraris, penduduk di kawasan tersebut pada umumnya memanfaatkan lahan mereka untuk aktivitas pertanian. Namun pada sekitar tahun 1987-an ketika UNDIP membangun kampusnya di wilayah Tembalang, terjadi pergeseran dalam aktivitas pemanfaatan lahan di sekitar kampus UNDIP Tembalang. Lahan-lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan perdagangan dan jasa untuk melayani para pendatang yakni mahasiswa dan aparat birokrasi UNDIP.

Perubahan fungsi lahan yang semula untuk aktivitas agraris ke aktivitas perdagangan dan jasa memberikan pengaruh yang beragam. Dari sisi pendapatan, kehadiran kampus UNDIP menjadi pusat pertumbuhan ( growth pole ) yang memberikan kontribusi dalam peningkatan aktivitas perekonomian di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang. Melonjaknya harga tanah karenanya tingginya permintaan di bandingkan penawaran merupakan konsekuensi logis dari hukum permintaan dan penawaran (supply and demand) yang memberi keuntungan berupa peningkatan nilai jual maupun nilai asset masyarakat berupa tanah dan bagunan baik untuk dijual ataupun disewakan sebagai tempat kost.

Sejalan dengan logika kapital, dimana terdapat pertumbuhan maka akan menciptakan peningkatan konsumsi. Untuk melayani trend tersebut, di kawasan sekitar kampus UNDIP banyak didirikan tempat pelayanan konsumsi baik berupa warung/rumah makan dengan derajat kualitas pelayanan dan menu yang beragam, gerai-gerai fashion termasuk counter-counter Handphone, computer, Warung internet (Warnet) dan tempat pengetikan (rental computer), sampai dengan hadirnya tempat-tempat rekreasi yang dalam wacana life style sering disebut sebagai bisnis waktu luang macam karaoke dan salon/spa. Jelas, fenomena tersebut memberikan pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan pendapatan warga di sekitar kampus UNDIP Tembalang maupun pendapatan Pemerintah Daerah Kota semarang dari pajak dan retribusi.

Perubahan fungsi lahan di sekitar kampus UNDIP tembalang telah merubah wajah kawasan tersebut menjadi pasar/festival kebudayaan populer yang ditandai dengan pergeseran ke arah gaya hidup urban ( urban life style) dan karenanya perubahan tersebut juga merubah persoalan kawasan yang dulunya dikategorikan sebagai wilayah pedesaan ( rural ) menjadi persoalan wilayah perkotaan ( urban ). Persoalan yang muncul terkait dengan perubahan fungsi lahan di sekitar kawasan UNDIP Tembalang bisa diidentifikasikan kedalam beberapa persoalan berikut : Pertama, munculnya masyarakat yang termarginalisasi sebagai akibat dari hilangnya kepemilikan mereka atas tanah dan bangunan karena lemahnya negosiasi dalam proses transaksi dengan para pemilik modal (swasta) serta kurangnya preferensi atas prospek masa depan kawasan secara ekonomis yang ditandai dengan pembangunan kampus UNDIP Tembalang sebagai pusat pendidikan dan pusat pertumbuhan (growth pole ). Kedua, munculnya konflik ruang sebagai akibat dari maraknya pembangunan infra struktur konsumsi (gerai, rumah makan, warnet, kantor-kantor, dsb) yang tak terkendali akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang penataan ruang serta penerapan peraturan tata ruang yang tidak konsisten. Ketiga, meningkatnya angka kriminalitas di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang yang disinyalir karena adanya tuntutan atas perubahan gaya hidup.

Dari identifikasi permasalahan tersebut kemudian muncul pertanyaan terkait dengan bagaimana pengelolaan kawasan di sekitar kampus UNDIP ditinjau dari perspektif SITAR sehingga fenomena persoalan yang teridentifikasi itu mendapatkan justifikasi secara teoritik untuk kemudian dikembangkan kedalam sebuah penelitian.

Perencanaan SITAR

Hudson (1979) mempelopori sebuah tradisi dalam pendekatan perencanaan yang dikenal dengan akronim SITAR ( Synoptic, Incremental, Transactive, Advokasi dan radical ) . Pendekatan atau perspektif Hudson ini hanyalah salah satu dari berbagai variasi dalam klasifikasi teori Perencanaan seperti Friedman (1987), Walker (1984) dan Falubi (1973). Meski nampaknya terdapat banyak ragam atau variasi dalam klasifikasi teori perencanaan sebenarnya pandangan mereka dalam mengklasifikasi teori perencanaan relative sama yakni untuk menjelaskan orientasi pembangunan yang dilakukan oleh Negara. Seperti yang disampaikan Hudson (1979) bahwa klasifikasi ini tidak seluruhnya saling bertentangan, tetapi juga beberapa dari mereka justru saling melengkapi satu sama lain.

Secara ringkas kelima perencanaan SITAR dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Perencanaan Sypnotik. Perencanaan ini merupakan tradisi yang paling dominan, disini perencanaan dilihat sebagai sesuatu yang ilmiah dan rasional. Model ini mampu mengekspresikan sebuah realitas kedalam model matematika dan teknis. Karena tujuan akhir dari perencanaan Sypnotik adalah memberikan supply informasi yang akurat kepada pengambil kebijakan dengan titik berat pada analisis kuantitatif, , maka model ini dianggap lebih dipercaya dan rasional. Meski demikian, model ini dianggap terlalu simplistic, menterjemahkan sebuah realitas yang kompleks kedalam model matematika dan teknis berpotensi mengeliminasi issu-issu social dalam masyarakat. Karenanya model ini dianggap gagal dalam mengkonsepsikan iklim social, ekonomis dan politis.

Kedua, Perencanaan Inkremental. Perencanaan ini muncul sebagai respon atas perencanaan sypnotic. Perencanaan ini bertolak dari dua asumsi, pertama, dalam prakteknya pengambilan keputusan tidak mencoba mengklarifikasi tujuan dan nilai dalam mengkaji kebijakan. Kedua, para pengambil keputusan senantiasa mempertimbangkan bukan nilai (value) yang menyeluruh tapi yang incremental atau marginal. Banyak orang kemudian mengkritik bahwa teori ini sulit dilakukan kecuali dalam setting dimana persaingan bebas berlaku.

Ketiga, Perencanaan Transaktif. Perencanaan ini juga dikenal sebagai perencanaan social learning. Disini perencanaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari tindakan social tetapi merupakan proses yang terus menerus berevolusi dari gagasan melalui tindakan. Inti dari perencanaan ini adalah menjembatani communication gab antara pengetahuan teknik perencana dengan pengetahuan keseharian masyarakat sehingga terjadi dialog antara perencana dan masyarakat. Perencana dalam pendekatan ini berperan sebagai facilitator.

Keempat, Perencanaan Advokatif. Perencanaan ini dimaksudkan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dengan mengakomodasi gagasan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Melalui proses ini masyarakat diharapkan mendapatkan informasi yang akurat terkait dengan perencanaan yang diajukan dan mampu memberikan umpan balik. Peran perencana disini sebagai penyaji informasi, bentuk kongkritnya di Indonesia adalah pada peran LSM-LSM yang mendampingi masyarakat dalam demonstrasi yang mengangkat issu HAM, kerusakan lingkungan, Reforma Agraria, Buruh, dsb.

Kelima, Perencanaan Radikal. Perencanaan ini berakar dari pandangan historis materialis, anarki dan utopian. Perencanaan ini juga dikenal melalui pendekatan mobilisasi social yang ragamnya sangat bervariasi. Seperti yang disampaikan Burchell mobilisasi social menekankan pada politik keterpisahan dan konfrontasi, tujuannya adalah untuk melawan status quo dan kekuasaan yang opresif di bawah kapitalis ( Soedharto P Hadi ; 2001 hal 31 ).

Dari penjelasan diatas, maka dapat ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan tradisi perencanaan (SITAR) seperti yang juga disampaikan Hudson (1979) yakni,
persamaannya:
  1. Mempunyai tujuan yang sama yaitu pemecahan masalah
  2. Mempunyai obyek perencanaan yang sama yaitu manusia dan lingkungan sekitarnya.
  3. Mempunyai beberapa persyaratan data, keahlian, metode, dan mempunyai konsistensi internal walaupun dalam penggunaannya terdapat perbedaan penitikberatan.
  4. Mempertimbangkan dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam pencapaian tujuan
Sedangkan Perbedaannya adalah :
  1. Perencanaan sinoptik lebih mempunyai pendekatan komprehensif dalam pemecahan masalah dibandingkan perencanaan yang lain, dengan lebih mengedepankan aspek-aspek metodologi, data dan sangat memuja angka atau dapat dikatakan komprehensif rasional. Hal ini yang sangat minim digunakan dalam 4 pendekatan perencanaan yang lain.
  2. Perencanaan incremental lebih mempertimbangkan peran lembaga pemerintah dan sangat bertentangan dengan perencanaan advokasi yang cenderung anti kemapanan dan perencanaan radikal yang juga cenderung revolusioner.
  3. Perencanaan transaktif mengedepankan faktor – faktor perseorangan / individu melalui proses tatap muka dalam salah satu metode yang digunakan, perencanaan ini kurang komprehensif dan sangat parsial dan kurang sejalan dengan perencanaan Sinoptik dan Incremental yang lebih komprehensif.
  4. Perencanaan advokasi cenderung menggunakan pendekatan hukum dan obyek yang mereka ambil dalam perencanaan adalah golongan yang lemah. Perencanaan ini bersifat sosialis dengan lebih mengedepankan konsep kesamaan dan hal keadilan social
  5. Perencanaan Radikal seakan - akan tanpa metode dalam memecahkan masalah dan muncul dengan tiba-tiba (spontan) dan hal ini sangat kontradiktif dengan pendekatan incremental dan sinoptik yang memepertimbangkan aturan – aturan yang ada baik akademis/metodologis dan lembaga pemerintahan yang ada.

Catatan Penutup: Sebuah gagasan
Permasalahan yang terjadi pada kawasan yang cepat berkembang di sekitar kampus UNDIP tembalang terkait dengan pengelolaannya harus didekati melalui perencanaan yang tepat. Munculnya masyarakat yang termarginalisasi, munculnya konflik ruang, serta meningkatnya angka kriminalitas di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang adalah bentuk-bentuk eksternalitas negative dari perkembangan sebuah kawasan yang harus dijawab dengan managemen pengelolaan kawasan yang baik. Karena pada dasarnya persoalan-persoalan tersebut adalah persoalan tripatrit antara masyarakat, swasta dan pemerintah, maka dibutuhkan pendekatan yang tepat agar semua pihak tidak merasa diabaikan. Dari uraian tentang perencanaan SITAR nampaknya perencanaan Transaktif atau social learning lebih pas untuk digunakan, sebab dengan perencanaan transaktif ini semua pihak akan ditempatkan dalam posisi yang setara, dan mereka semua belajar untuk memecahkan masalah bersama-sama. Wujud kongkritnya adalah dengan membentuk lembaga / organisasi semacam CBO ( Community Bassed Organisation ) yang merepresentasikan ketiga komponen ( Pemerintah, Swasta dan masyarakat ) dalam mengelola kawasan tersebut. Agar persoalan dapat diurai secara sistematis, kiranya perlu adanya sebuah penelitian yang focus tentang manajemen pengelolaan kawasan di sekitar kampus UNDIP Tembalang dengan menggunakan pendekatan teori perencanaan transaktif atau social Learning. 

Daftar Pustaka

Hadi, Sudharto P, Perencanaan Pembangunan, Penerbit UGM, 2001
Friedman, John, Planning in the Public Domain : from Knowledge to Action. New Jersey : Princeton U.P. 1986
Hudson, Barclay, “Comparison Planning Theories : Counterparts and Contradiction” Journal of The American Association. 1979.

2 comments: