6.11.09

Back to My Little World

Akhir-akhir ini headline berita banyak di dominasi oleh pertarungan antara cicak dan buaya. TV, koran, tak henti-hentinya meliput perkembangan terbaru, bahkan dari dunia maya, para facebooker tak kalah garang mengekspresikan sikap mereka lewat tulisan-tulisan singkat di dalam status maupun comment. Salah seorang kawanku meng-update status facebook nya dengan bahasa yang sangat keras, baru kali ini aku membaca statusnya dengan bahasa seperti itu, biasanya dia menulis dengan bahasa yang soft dan sopan, menunjukkan kadar intelektualitasnya yang terus terasah. Bagiku ini jelas menunjukkan kegeraman yang luar biasa, sebuah
keprihatinan yang diekspresikan oleh seorang anak bangsa ketika menyaksikan betapa dahsyatnya dramaturgi yang dipertontonkan aparat penegak hukum untuk meng-kriminalisasi-kan KPK. Aku jga meng update status facebook ku dengan keprihatinan yang sama dengan kawanku tetapi dengan kemasan bahasa yang berbeda, mungkin karena tingkat kegeramanku tidak sedahsyat yang dirasakan kawanku, seorang aktivis yang masih konsisten dijalannya. Sebuah pilihan hidup yang berani di tengah-tengah budaya pragmatis dan konsumtif yang setiap harinya bisa menggerus idealisme dan nilai-nilai yang kita junjung tinggi.

Aku sendiri sebenarnya sudah jenuh dengan berita-berita itu, tapi bagaimanapun proses yang telah berjalan harus tetap dikawal. Perekembangan terbaru, Kabareskrim dan Wakil Jaksa Agung telah mengundurkan diri dari jabatan mereka terkait perseteruan mereka yang mewakili dua institusi penegakan hukum dengan KPK. Aku pikir ini adalah hasil dari tekanan-tekanan masyarakat yang disuarakan melalui media yang menguatkan tesis kebebasan pers (dan media) sebagai Pilar keempat demokrasi.

Ditengah hingar-bingarnya dunia ramai, aku tetaplah seorang manusia dengan garis tangan yang telah tertulis didalam lauful mahfudz, berjalan didalam dunia kecilku, tertawa, dan berkeluh kesah dengan realitas yang dihadapi. Hal-hal semacam itu memberiku ruang kontemplatif untuk memikirkan "hal-hal kecil", Little things, yang membentang diantara diriku, rumahku, dan pekerjaanku. Sebuah dunia kecil yang sarat dengan pemikiran-pemikiran yang bermuara pada bagaimana sebuah eksistensi harus dipertahankan. Rene Descartes mengatakan," cogito ergo sum ", saya berfikir maka saya ada, pada kutub paradigma yang lain, Marx dan Engels mengatakan, "Keadaan menentukan pemikiran". Bagiku tidak lah terlalu penting untuk meributkan soal terminologi apa yang akan kita pakai untuk menjelaskan sebuah pertanyaan eksistensial. Yang terpenting bagiku adalah pencerahan dan kesadaran diskursif yang berhasil didapatkan, terserah tradisi ilmu pengetahuan apa yang akan kita pakai sebagai pedoman.

Bagiku semua berawal dari sesuatu yang kecil, sesuatu itu kawan bisa berupa pikiran ataupun keadaan (realitas). Pikiran dan keadaan ibarat sekeping uang logam yang masing-masing sisinya memiliki gambar yang berbeda, kita bisa membolak-balikkan gambar mana yang akan kita lihat. Gambar apapun yang akan kita lihat (pikiran atau keadaan ), ia haruslah sesuatu yang bersumber dari dalam, sesuatu yang bersumber dari dalam itu kawan sesungguhnya adalah sesuatu yang kecil, somethings small. Ini tidak berarti kita meninggalkan sesuatu yang berada " di luar", persoalan politik, ekonomi, sosial bagaimanapun memiliki hubungan dengan dunia kecil kita, contohnya kalau pemerintah menarik subsidi atas BBM sehingga katakanlah aku harus membayar Rp 11.000 untuk membeli 1 liter bensin, aku pasti akan meninjau kembali rencana untuk berlibur bersama keluarga, hal yang sama juga mungkin akan anda lakukan. Melihat kembali kedalam adalah upayaku untuk tidak teralienasi dengan diri sendiri, memahami benar apa yang kita butuhkan, ini adalah cara untuk membuat diri tetap eksis ditengah-tengah pertarungan antar manusia. Dunia kecilku inilah yang menjadi ruang kontemplatif ku. Barangkali inilah jawaban dari pertanyaan sebagian kawan-kawan aktivis yang mempertanyakan konsistensiku.

Dalam salah satu tetraloginya, Pramudya Ananta Toer melalui tokoh Mince ( dalam Bumi Manusia ) mengatakan," Seorang intektual itu haruslah orang yang jujur, bahkan sejak di dalam pikiran, ia harus jujur" intelektual sejati bukanlah orang yang bersembunyi di balik kata-kata yang hebat, jargon dan slogan. Intelektual sejati adalah orang yang jujur dengan pikiran-pikirannya, pikiran yang dihasilkan dari sebuah proses refleksi dan kontemplasi, bukan pikiran yang membuntut pada trend dan arus besar konspirasi yang tak ia pahami. Kembali pada dunia kecilku adalah upayaku untuk bisa jujur pada diri sendiri... semoga.

No comments:

Post a Comment