25.12.11

Penataan Ruang Sebagai Persoalan Pembangunan



 Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi  setiap waktu membutuhkan  peningkatan  kebutuhan  akan  ruang. Meskipun sifat ruang adalah tetap dalam pengertian luas, namun dari sisi komposisi baik fisik, ekonomi dan sosial ruang akan selalu berubah seiring dengan dinamika perkembangan masyarkat. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pemanfaatan ruang. Tanpa memahami hakikat keberadaan ruang maka proses perencanaan dan pembangunan dalam sebuah ruang berpotensi menimbulkan konflik yang pada gilirannya akan memberi dampak  permasalahan pada pemanfaatan dan pengendalian ruang.
           Menurut UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( UUPR ) yang dimaksud dengan Ruang adalah  wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Yang dimaksud dengan proses  perencanaan tata ruang wilayah adalah proses perencanaan tata ruang yang menghasilkan Rencana  Tata Ruang Wilayah  (RTRW).  Disamping  sebagai “guidance of  future  actions”  RTRW pada dasarnya merupakan bentuk agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan  lingkungannya dapat  serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan sendiri, sedangkan proses pengendalian pemanfaatan ruang  terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian,  selain  merupakan proses  untuk  mewujudkan  tujuan-tujuan pembangunan, penataan  ruang  sekaligus  juga merupakan produk yang memiliki  landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.    
Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang; diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti pusat kota, lingkungan; prasarana jalan seperti jalan arteri, kolektor, lokal dan sebagainya.  Sementara  pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam; diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan. (UUPR).
Di dalam UUPR termuat  tujuan penataan  ruang,  yakni terselenggaranya  pengaturan pemanfaatan  ruang kawasan  lindung  dan budidaya. Sedangkan sasaran penataan ruang adalah : 
  1. Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera, 
  2. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan dengan  memperhatikan sumber daya manusia, 
  3. Mewujudkan keseimbangan kepentingan antara kesejahteraan dan keamanan, 
  4. Meningkatkan pemanfaatan  sumber  daya alam  dan  sumber  daya  buatan  secara berdayaguna, berhasil  guna  dan  tepat  guna untuk  meningkatkan  kualitas sumber daya manusia, serta 
  5. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. 
Berangkat dari pengertian tersebut maka penataan ruang bukanlah sekedar aktivitas membangun infrastruktur an sich tetapi juga terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat memberikan nilai tambah bagi manusia dan mahluk lainnya untuk dapat hidup dan melakukan kegiatan, memelihara kelangsungan hidupnya serta meningkatkan kualitas hidup. Dalam implementasinya, penataan ruang bukanlah persoalan yang mudah, konflik kepentingan sektoral, penyimpangan dalam pemanfaatan ruang, serta kerusakan lingkungan merupakan beberapa issu seputar persoalan penataan ruang seperti yang juga dikemukakan Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi  Tata  Ruang  Nasional di  Surabaya pada tahun 2003 menegaskan beberapa  isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni : (a) terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya, (b) belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor tadi,  (c)  terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya  ditegakkan.  Penyebabnya adalah  inkonsistensi  kebijakan  terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan,  (d)  belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTRWN, (e) belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang, serta (f)  kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masing-masing secara berlebihan. (Dirjen Penataan Ruang, 2003). 
Senada  dengan  isu  yang  dikemukakan  Presiden  RI, Menko  Perekonomian pada  forum yang  sama  menyebutkan  adanya  3  (tiga)  isu utama  dalam  penyelenggaraan penataan ruang  nasional,  yang  meliputi :  (a)  konflik  antar-sektor  dan  antar-wilayah,  (b) degradasi lingkungan  akibat  penyimpangan  tata  ruang, baik  di  darat,  laut  dan udara, serta  (c)  dukungan  terhadap pengembangan  wilayah  belum  optimal,  seperti diindikasikan dari  minimnya  dukungan  kebijakan  sektor  terhadap pengembangan kawasan-kawasan  strategis nasional dalam RTRWN  seperti kawasan perbatasan negara, kawasan  andalan, dan  KAPET. (Dirjen Penataan Ruang, 2003). 
Issu dalam penataan ruang juga merambah hingga ke daerah. Pada  era  otonomi  daerah,  inisiatif untuk meningkatkan  kesejahteraan  rakyat  cenderung diselenggarakan untuk  memenuhi  tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari  kawasan  lindung menjadi  kawasan budidaya  guna meningkatkan  Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya hutan lindungnya  telah  terkonversi  dengan  laju  sebesar  19.000 ha/tahun  (BPS,2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti untuk  industri, permukiman dan  jasa di Pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 – 1999. (Deptan, 2001). 
Berbagai persoalan yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa penataan ruang merupakan permasalahan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh komponen masyarakat. Kebutuhan akan penataan ruang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kian banyaknya masalah yang timbul dalam pembangunan. Perkembangan pesat di berbagai sektor perlu diakomodasikan dalam ruang, sehingga pembangunan yang terarah lokasinya diharapkan memberikan hasil yang lebih besar dan lebih baik bagi wilayah secara keseluruhan. Forester (1989), dalam bukunya “Planning in the Face of Power” mengatakan bahwa sesungguhnya yang dapat dilakukan perencana saat ini adalah lebih pada bagaimana memfasilitasi suatu proses perubahan yang tidak selalu dapat kita antisipasi. Ia menegaskan bahwa perencanaan, bukanlah semata-mata suatu kegiatan yang rasionalistik, teknis dan estetis, akan tetapi merupakan pula proses sosial-politis yang dinamis dan sarat dengan konflik.(Setiawan, 2003). Dengan konsepsi ini, dapat kita pahami bahwa perencanaan adalah suatu proses negosiasi atau pembentukan kesepakatan antara banyak aktor dan institusi yang terlibat dalam pengembangan suatu kawasan atau kota. Dengan kata lain penataan ruang adalah proses negosiasi dan pembentukan kesepakatan antar stakeholder terhadap pemanfaatan ruang.
Pembentukan kesepakatan ini terutama diperlukan agar setiap proses pemanfaatan sumber daya alam (misalnya ruang) dapat dilakukan secara lebih 'fair', tidak semata mempertimbangkan aspek efisiensi. Adalah tugas seorang perencana untuk menjadi mediator sosial dan politis (melalui antara lain professional expertise nya) agar tercapai suatu pemanfaatan ruang yang lebih demokratis.(Setiawan,2003). Ini berarti bahwa yang primer dalam kegiatan penataan/perencanaan ruang adalah proses sosial dan politis itu sendiri, sementara proses teknokratiknya menjadi sekunder -meskipun bukannya tak penting-. Karena hakekat perencanaan adalah bagaimana menghasilkan suatu keputusan politis tertentu atas permanfaatan ruang bagi masyarakat publik, bukan menjustifikasi suatu keputusan atau interest satu kelompok tertentu (Campbell dan Fainstein (ed), 1996).

No comments:

Post a Comment