17.12.11

Critical Review atas artikel Mico Raco & John Flint Berjudul : Communities, Place and Institusional Relations : Assessing the Role of Area – Based Community Representation in Local Governance


Summary


Dalam artikelnya yang berjudul Communities, Place and Institusional Relations : Assessing the Role of Area – Based Community Representaion in Local Governance, Mico Raco dari Department of Geography, University of Reading, Whiteknights, Reading RG6 6AB, UK dan John Flint dari Department of Urban Studies, University of Glasgow, 25 Bute Gardens, Glasgow G12 RS, UK menjelaskan tentang hubungan antara otoritas lokal dengan masyarakat di Skotlandia.


Dalam artikel itu digambarkan kompleksitas, masalah dan peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terutama pada tempat-tempat yang memiliki ketegangan di tingkat local. Artikel tersebut diawali dengan sorotan atas orientasi kebijakan pemerintahan Partai buruh yang tengah melakukan reformasi demokrasi pemerintahan lokal sebagai salah satu prioritas utamanya. Asumsi yang mendasari reformasi tersebut adalah bahwa Pemerintah daerah, dan badan-badan lain yang terlibat dalam pembuatan kebijakan local dan pelaksanaannya, dianggap tidak berhubungan dengan masyarakat lokal yang mereka layani (DETR, 1998a; Blair, 1997).


Sorotan tersebut difokuskan pada dua hal yakni; Pertama, penekanan yang lebih besar pada reformasi kelembagaan. Sistem perwakilan demokrasi lokal, dirancang untuk membuat proses pengambilan keputusan dalam pemerintah daerah (dan badan lainnya) lebih transparan dan bertanggung jawab kepada pemilih lokal. Ini ditunjukkan oleh inisiatif baru, seperti Best Value untuk layanan lokal dan proposal untuk pembentukan struktur politik lokal yang baru, seperti walikota dan majelis regional (DETR, 1998b, c). Kedua, adanya pergeseran yang luas dalam pemikiran kebijakan yang memfokuskan pada peran aktif warga masyarakat. Penekanan baru ini terletak pada bentuk demokrasi partisipatif (seperti forum daerah) dan proses (seperti perencanaan komunitas) yang dapat mendorong warga negara dan masyarakat untuk memobilisasi diri mereka sendiri dan mengambil-peran aktif. (DETR, 1999a; Osbourne & Rose, 1999). Perubahan ini meningkatkan sejumlah pertanyaan mengenai cara yang paling tepat untuk menghubungkan kegiatan pemerintah daerah dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat / komunitas setempat.


Dalam artikelnya, Raco dan flint juga menjelaskan pandangan Pemerintahan baru Partai Buruh terhadap kelembagaan Pemerintahan Daerah. Disebutkan dalam artikel tersebut bahwa kelemahan-kelemahan Pemerintah daerah terletak pada struktur (kuno) kelembagaan pemerintah daerah yang mendorong nepotisme; melepaskan masyarakat dari proses pembuatan kebijakan; cenderung birokratis dan tidak efisien, serta fokusnya yang terbatas, serta bentuk demokrasi local yang berbasis perwakilan tempat. ( Raco & Flint, hal 588 ). Permasalahan tersebut mendorong perlunya pencarian atas bentuk dan mekanisme kelembagaan yang baru. Bentuk dari mekanisme baru ini bervariasi dari satu tempat ke tempat lain sesuai otoritas local dalam membangun hubungan mereka sendiri dengan komunitas lokal. Variasi ini diterima oleh pemerintah pusat yang mengakui bahwa "tidak ada satu struktur politik yang tepat, ada banyak keragaman di masa depan, sehingga perlu untuk memperkenalkan struktur-struktur baru untuk memenuhi tantangan yang mereka hadapi di masa depan " (DETR, 1997, ayat 3.3). Meski demikian Raco dan Flint ( 2001, Hal 589 ) menyatakan bahwa mekanisme demokrasi yang melalui masyarakat mampu mempengaruhi kebijakan dan layanan yang diberikan oleh otoritas local. Penekanan ini tidak berarti bahwa masalah hubungan masyarakat telah diabaikan oleh pembuat kebijakan dan pihak berwenang setempat. Banyak kesulitan dalam membangun bentuk-bentuk partisipasi masyarakat. Tempat, unit spasial (negara bagian) organisasi cenderung ditetapkan untuk keperluan administratif yang lebih luas, efisiensi dan penegasan kekuasaan negara. Padahal identitas masyarakat penting untuk membangun kesadaran mereka dalam berpartisipasi. Menurut Cruikshank (1999, hal 39 dalam Raco dan Flint, 2001 hal 589 ), pemerintahan demokratis "tidak bisa memaksa, melainkan harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengejar tujuan " Secara historis, penciptaan ruang mencerminkan kewenangan dan kekuasaan Negara atas tempat-tempat tertentu.


Di Skotlandia, sistem pemerintah local sejak pertengahan 1970-an diperbolehkan
untuk menciptakan sebuah lembaga yang kemudian diberi nama Community Council (CCS). CCS ditujukan untuk 'memastikan koordinasi dan mengungkapkan' pandangan lokal berbasis masyarakat. Acts of 1973 dan 1994 merupakan instrument untuk menyiapkan skema pembentukan CCS di daerah mereka. Skema Ini menentukan batas-batas, populasi, ketentuan, komposisi, pertemuan, dan keuangan. Oleh karena itu, kebijaksanaan lokal tentang cara-cara yang diwakili daerah telah ditentukan, sejauh mana sumber daya dan jenis hubungan CCS yang dibentuk antara pemerintah daerah dan masyarakat setempat.


Artikel ini mennyoroti hubungan antara CCS, pemerintah daerah dan kepentingan-kepentingan lain melalui strategi politik pembangunan masyarakat ( Community Development ) yang dipimpin oleh dua otoritas lokal Buruh di Skotlandia, Stirling dan Fife. Bagian pertama berfokus pada pihak berwenang/apparatus pemerintah yang membangun ruang-ruang demokrasi perwakilan (kelembagaan baru) di daerah mereka sedangkan yang kedua meneliti bangunan tempat di kedua daerah dan peran serta efektivitas CCS dalam mengembangkan tempat berdasarkan perspektif masyarakat. Kesimpulannya menurut Raco dan Flint ( 2001, hal 595) ternyata bahwa terdapat kesesuaian hubungan antara ruang dan keterwakilan kepentingan masyarakat, serta tempat perwakilan yang berbasis kelembagan, seperti model CCS.

Pembentukan dewan Stirling/Stirling Council ( SC) telah memmperkenalkan berbagai inisiatif dan partisipasi dengan merangkul pemerintah untuk pembaruan demokrasi local. Kedua pihak berwenang ( SC dan Pemerintah ) juga menekankan perlunya perkembangan kewarganegaraan yang aktif dimana individu memainkan bagian yang lebih besar dalam proses politik lokal dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas tindakan mereka sendiri. Cara yang dipakai untuk membangun demokrasi lokal adalah dengan membawa proses pembuatan keputusan menjadi 'lebih dekat' pada masyarakat, hal ini didsasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat paling mungkin untuk berpartisipasi dalam proses politik pada tingkat lokal (DETR, 1998).

Selain mengembangkan pendekatan lokalitas yang fokus untuk memberikan layanan dan
memperkenalkan berbagai mekanisme demokrasi partisipatif, CCS sebagai lembaga-lembaga berbasis lokalitas memainkan peran penting dalam strategi reformasi demokrasi lokal. Strategi membangun demokrasi Lokal kedua adalah dengan menekankan peran CCS sebagai saluran informasi antara otoritas lokal (dan badan-badan lain yang terlibat dalam penyampaian layanan lokal dan pembuatan kebijakan) dengan masyarakat lokal. Stirling dan Fife dicirikan sebagai non-partai politik. Status apolitis CCS ini merupakan suatu upaya untuk meredakan ketegangan tempat-tempat dalam pembentukan ruang-ruang representasi yang melibatkan sejumlah asumsi yang berdampak pada dinamika tempat-ruang. Status ini membawa implikasi lebih lanjut bagi kelembagaan masyarakat. Secara keseluruhan, cara-cara di mana ruang kelembagaan sebagai representasi demokratis direstrukturisasi menunjukkan bahwa ketegangan tempat-ruang menciptakan peluang dan tantangan bagi pelaksanaan dan efektivitas reformasi. CCS menyoroti peran dinamika ketegangan seperti itu.


Raco dan Flint mempertanyakan dua dimensi penting dari CCS yang relevan dengan pembangunan tempat. Pertama, sejauh mana mereka dapat menciptakan rasa pemersatu terhadap tempat dan kedua, sejauh mana mereka mewakili keragaman yang mungkin ada didalam tempat. CCS mungkin berusaha untuk mengatasi hal ini dan hal penting dari efektivitas keberadaan CCS sebagai mekanisme demokrasi perwakilan adalah sejauh mana mereka mencerminkan berbagai pandangan dan kepentingan di dalam tempat yang didefinisikan secara spasial. Hal yang sama disampaikan Massey's (1997, dalam Raco dan Flint, 2001) yang menyatakan bahwa pentingnya spatiality dalam pembentukan identitas politik. Identifikasi yang kuat dengan tempat-tempat dapat mengakibatkan peningkatan partisipasi.


Critical Review


Community Development

Artikel Raco dan Flint memberikan petunjuk yang berguna tentang reformasi demokrasi pemerintahan local yang memfokuskan diri pada reformasi kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam proses social politik . Meski demikian gagasan mereka sebenarnya bukan hal baru yang mendorong munculnya banyak perdebatan teoritik. Apa yang disampaikan Raco dan Flint dalam artikelnya lebih banyak menyoroti aspek sosiologis yang memang berperan penting dalam menganalisis fenomena masyarakat, kelembagaan dan demokrasi. Pilihan strategi yang digunakan untuk mendongkrak partisipasi masyarakat melalui pendekatan pengembangan masyarakat ( Community Develpoment ) juga bukan merupakan hal baru.


Praktik pengembangan masyarakat / CD sudah banyak diterapkan bahkan di Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia terutama di era otonomi daerah sekarang ini. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai :”sebuah model pengembangan masyarakat yang menekankan pada partisipasi penuh seluruh warga masyarakat”. PBB (1955) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai berikut : ”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri”. Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa :” …locality development merupakan suatu cara untuk memperkuat warga masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui pengalaman yang terarah agar mampu melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri pula”.


Masyarakat, tempat dan Hubungan Kelembagaan


Hal istimewa dari artikel Raco dan Flint bagi saya terletak pada upaya mereka dalam menghubungkan proses reformasi kelembagaan dan partisipasi melalui kajian tentang masyarakat, tempat dan hubungan kelembagaan. Aspek masyarakat oleh Raco dan Flint diidentifikasikan sebagai sesuatu yang khas, masyarakat memiliki pengetahuan, pengalaman serta nilai-nilai local yang menjadi pedoman mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Kekhasan masyarakat bersifat sangat typical, artinya masing-masing masyarakat di masing-masing tempat memiliki variasi yang beragam tentang pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka anut yang dalam termonolgi ilmu social sering disebut sebagai kearifan local.


Perbedaan yang ada di dalam masyarakat inilah sesungguhnya yang menjadi tantangan dalam merumuskan bentuk partisipasi masyarakat dan tentu saja tidak mudah, seperti juga disampaikan Raco dan Flint dalam artikelnya :


“..Banyak kesulitan dalam membangun bentuk-bentuk partisipasi masyarakat. Tempat, unit spasial (negara bagian) organisasi cenderung ditetapkan untuk keperluan administratif yang lebih luas, efisiensi dan penegasan kekuasaan negara. Padahal identitas masyarakat penting untuk membangun kesadaran mereka dalam berpartisipasi”. ( 2001, hal 589 )


Pemahaman mendalam tentang masyarakat pada akhirnya menjadi kunci dalam memilih model strategi pengembangan masyarakat yang tepat. Disini Raco dan Flint tidak secara lugas menyatakan pilihan strategi pengembangan masyarakat yang digunakan dalam konteks permasalahan di Skotlandia yang menjadi lokasi studinya. Meski demikian secara teoritik sebenarnya model strategi pengembangan masyarakat/CD dapat kita kenali dengan merujuk pada pendapat Rothman (1979). Menurut Rothman (1979), pelaksanaan pengembangan masyarakat meliputi 3 (tiga) model, yaitu: Locality Development, Social Planning, dan Social Action. Dalam pelaksanaannya, ketiga model tersebut dapat digunakan secara integral dalam serangkaian program pengembangan masyarakat, dan dapat pula digunakan secara parsial untuk sebuah kegiatan intervensi.


Apapun model pengembangan masyarakat yang digunakan, maka pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi masalah dan kondisi masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, strategi perubahan yang akan digunakan akan berbeda pula; tergantung pada kondisi masyarakat yang selanjutnya disesuaikan dengan asumsi-asumsi yang mendasari setiap strategi. Hal inilah yang ingin disampaikan Raco dan Flint dalam artikelnya.


Aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam melakukan reformasi kelembagaan dan partisipasi masyarakat adalah aspek “tempat”. Menurut Raco dan Flint tempat merupakan aspek penting dalam membangun identitas local suatu tempat yang dapat memberikan rasa kebersatuan. Selama ini tempat sekedar difahami dalam pengertian administrative, efisiensi dan untuk menegakkan supremasi Negara. Sehingga tempat kemudian seolah tidak memiliki keterkaitan atau terpisah dengan kehidupan masyarakat. Raco dan Flint meyakini bahwa ada kaitan antara tempat dengan rasa kebersatuan masyarakat yang berpotensi untuk mendorong partisipasi warga. Dengan demikian persoalan tempat harus dipahami dalam perspektif yang lebih spasial sebab juga akan sangat menentukan bentuk dari partisipasi masyarakat.


Pengertian “tempat” secara spasial sebenarnya untuk memberikan makna atas ruang, yang bukan semata-mata sebagai tempat tetapi juga memiliki dimensi psikososial. Artinya manusia dengan ruang merupakan satu kesatuan yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Memahami tempat masyarakat tinggal sebenarnya adalah memahami ruang dimana masyarakat beraktivitas dan hal itu terkait dengan banyak aspek dan identik dengan aspek-aspek masyarakat seperti tradisi, nilai-nilai, dsb. Raco dan Flint dalam artikelnya melihat bahwa pemahaman otoritas local terhadap tempat belum mencakup dimensi spasial sebagimana makna ruang yang sesungguhnya. Tempat dalam hal ini baru sebatas dimaknai dalam pengertian administrative dan karenanya menjadi sangat monopolistic yakni sebagai representasi dari kekuasaan Negara. Dengan pemahaman ini kebijakan terkait dengan pemanfaatan ruang sama sekali lepas dari kebutuhan, kepentingan dan filosofi masyarakat. Seperti yang diungkapkan Raco dan Flint ( Hal 590 ) bahwa secara historis, penciptaan ruang mencerminkan kewenangan dan kekuasaan Negara atas tempat-tempat tertentu. Dengan demikian persoalan ruang pada hakekatnya adalah persoalan politik, dimana perjuangan masyarakat atas kedaulatan ruang menjadi tujuan dalam memenangkan politik ruang.


Dengan memahami aspek ruang diharapkan pemerintah local menjadi lebih memahami kebutuhan dan kepentingan masyarakat local, disini –menurut saya- harus diakui Raco dan Flint secara jeli telah menempatkan persoalan ruang sebagai issu penting untuk program reformasi demokrasi pemerintah local.


Disamping kedua aspek diatas terdapat aspek ketiga yang juga mendapat perhatian dalam artikel ini yakni menyangkut hubungan kelembagaan yang terbentuk. Hubungan kelembagaan yang dimaksud Raco dan Flint dalam artikelnya sebenarnya merupakan refleksi masyarakat dan ruang (tempat), sebab dalam arti cultural, kelembagaan local sebenarnya mengadopsi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Kesalahan terbesar Negara adalah ketika kelembagaan local hanya didekati dalam logika structural yang rigid dan monolitik sehingga kelembagaan local justru menjadi terkooptasi oleh kekuasaan Negara. Kelembagaan local pada akhirnya menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah dan sama sekali kehilangan otonominya. Dengan perspektif kelembagaan semacam ini tentu saja kelembagaan local menjadi sulit dalam membangun komunikasi dengan masyarakat local. Ada kesenjangan

Proses mencari bentuk


Dalam situasi kelembagaan local semacam ini, sulit dibayangkan proses demokratisasi dan partisipasi masyarakat dapat dilaksanakan. Tanpa kelembagaan yang representative masyarakat tidak memiliki alat perjuangan untuk bertarung dalam ranah politik, memperjuangkan kedaulatan mereka atas ruang serta kepentingan-kepentingan ekonomi politik lainnya. Ketiadaan kelembagaan yang representative juga berpotensi menciptakan pembusukan pada otoritas local, ketidakefisienan dan birokrasi yang tidak sehat yang pada akhirnya tidak mampu menjalankan fungsinya untuk melayani masyarakat. Hal ini dipahami Pemerintah Blair yang menyatakan bahwa asumsi yang mendasari reformasi tersebut adalah bahwa Pemerintah daerah, dan badan-badan lain yang terlibat dalam pembuatan kebijakan local dan pelaksanaannya, dianggap tidak berhubungan dengan masyarakat lokal yang mereka layani (DETR, 1998a; Blair, 1997 dalam Raco, 2001).

Ketiga aspek terebut diatas yang disampaikan oleh Raco dan Flint ( 2001, hal 588) dalam artikelnya telah mendorong pencarian atas bentuk dan mekanisme kelembagaan yang baru. Bentuk dari mekanisme baru ini bervariasi dari satu tempat ke tempat lain sesuai otoritas local dalam membangun hubungan mereka sendiri dengan komunitas local. Variasi ini diterima oleh pemerintah pusat yang mengakui bahwa "tidak ada satu struktur politik yang tepat, ada banyak keragaman di masa depan, sehingga perlu untuk memperkenalkan struktur-struktur baru untuk memenuhi tantangan yang mereka hadapi di masa depan " (DETR, 1997, ayat 3.3).


Pencarian atas bentuk dan mekanisme kelembagaan yang baru dengan demikian harus mempertimbangkan aspek cultural dimana antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya berbeda. Perbedaan ini memberikan konsekuensi bahwa pencarian tersebut tidak bisa didekati dengan logika structural yang rigid dan monolitik, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan kearifan local yang terdapat di masing-masing masyarakat serta mempertimbangkan pula dimensi spasial. Pertimbangan atas aspek-aspek tersebut akan memberikan pengaruh yang significant dalam meningkatkan partisipasi masyarakat.


Kesimpulan

Meski Raco dan Flint menulis dalam konteks masyarakat Skotlandia, namun gagasan tersebut juga relevan untuk banyak Negara termasuk Indonesia dalam memperkuat demokratisasi melalui reformasi kelembagaan dan partisipasi masyarakat, sebab betapapun beragamnya, masyarakat diseluruh dunia memiliki kesamaan seperti yang disampaikan Raco dan Flint yakni hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari Negara serta hak untuk memperoleh akses yang memadai ke sumberdaya-sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak dan bermartabat. Persoalannya adalah keputusan-keputusan penting terkait dengan pelayanan Negara kepada masyarakat dan akses yang dibutuhkan masyarakat merupakan hasil dari sebuah kebijakan politik yang kerapkali mengabaikan kepentingan dan kebutuhan warga masyarakat lokal seperti juga dituliskan Raco dan Flint dalam artikelnya. Hal ini membawa kita pada pemikiran tentang bagaimana membangun perimbangan kekuatan untuk membangun mekanisme control atas kebijakan-kebijakan politik yang kurang memihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Raco dan Flint menawarkan sebuah gagasan untuk melakukan Reformasi Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat dalam rangka mewujudkan Reformasi Demokrasi pada Pemerintahan local dengan menggunakan tiga pendekatan yakni 1) masyarakat, 2) Tempat dan, 3) Hubungan kelembagaan. Adapun strategi yang digunakan adalah dengan menggunakan Strategi Pengembangan Masyarakat / Community Development.


Pentingnya strategi bagi para praktisi pengembangan masyarakat tidak dapat dipungkiri. Tanpa strategi, ideologi dan komitmen mereka menjadi hanya omong kosong, dan aksi tanpa strategi tidak berguna. Hanya melalui pertimbangan berbagai alternatif yang dipikirkan secara matang dan memperhatikan aspek pragmatisnya dapat dibuat evaluasi yang rasional terhadap berbagai rencana aksi, serta memperhatikan kekuatan dan kelemahan dari strategi tersebut. Atas dasar strategi yang ditentukan, maka teknik-teknik yang dibutuhkan dapat ditetapkan untuk menerapkan strategi tersebut.


Daftar Pustaka


Raco, Mico; Jhon Flint, Communities, Place and Institusional Relations : assessing the Role of Area – Based Community Representaion in Local Governance, 2001


Soetomo, Strategi-Strategi Pengembangan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000


Susanto, Astrid S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta, 1983


Tropman E. John, et. al. tanpa tahun. Strategies of Community Development: macro practice, 5th
edition. Itasca : F.E. Publisher, Inc

No comments:

Post a Comment